Malam di Bawah Pohon Mahoni

kos





Cerpen “dewasa”, namun secara naratif dan psikologis, bukan eksplisit seksual.



***Malam Minggu itu, angin lembut menyisir jalanan kampung yang sepi. Di bawah pohon mahoni tua, dua sosok duduk bersisian: Hari, siswa SMA yang masih canggung dalam urusan asmara, dan Mia, perempuan dewasa yang sudah lama akrab dengan hidup yang keras dan penuh teka-teki.


"Aku suka cara kamu lihat dunia," kata Mia sambil menatap bintang. "Ada ketulusan yang jarang kutemui pada laki-laki seusiamu, apalagi yang sudah dewasa."


Hari hanya tersenyum kikuk. Perasaannya campur aduk. Antara senang, bangga, dan... gugup.


Pelukan Mia terasa hangat. Sentuhan yang ia rasakan malam itu bukan sekadar fisik, melainkan juga semacam pergeseran dunia. Ia seperti berpindah dari halaman anak-anak ke bab awal kehidupan orang dewasa yang tak semua orang siap membacanya.


Sepanjang perjalanan pulang, motor tua Hari melaju pelan. Di kepalanya, kata-kata Mia terus terulang, begitu juga momen saat ia diminta memeluk, meraba, dan menerima sesuatu yang belum pernah ia pahami sepenuhnya.


Sesampainya di rumah, ia tak langsung tidur. Ia duduk di ranjang, menatap dinding kosong, lalu memegang dadanya sendiri. Ada degup yang berbeda. Ada pertanyaan yang menggelayut, bukan soal dosa atau pahala, tapi tentang makna. Kenapa Mia memilih aku? Apa ini cinta? Atau cuma permainan?


Hari menatap layar ponsel. Mia sempat mengirim pesan: “Kamu anak baik. Jangan berubah. Malam ini rahasia kita ya.”


Esok harinya, sekolah terasa berbeda. Hari duduk di kelas dengan kepala penuh suara. Ia mulai memperhatikan teman-teman perempuannya dengan pandangan lain. Bukan karena nafsu, tapi karena ia merasa telah melompati fase. Tapi anehnya, bukannya merasa lebih hebat, ia justru merasa hampa.


Minggu-minggu setelahnya, Mia tak lagi menghubungi. Nomornya tak aktif. Seolah malam itu hanya mimpi. Hari mulai resah. Ia berjalan ke tempat biasa mereka berhenti di bawah pohon mahoni dan mendapati hanya daun-daun gugur dan suara jangkrik.


Di sanalah ia sadar. Ada yang berubah dari dirinya. Malam itu bukan sekadar peristiwa, tapi sebuah titik balik. Bukan tentang kebanggaan menjadi "lelaki sejati", melainkan pelajaran pahit bahwa kedewasaan tidak selalu datang dari pengalaman fisik tapi dari cara seseorang memahami perasaan dan akibatnya.


Beberapa tahun kemudian, Hari duduk di sebuah kedai kopi, membaca koran. Ia kini mahasiswa, belajar jurnalisme. Di satu kolom berita, matanya terpaku pada nama yang tak asing: Mia ditangkap atas dugaan relasi tak pantas dengan beberapa anak di bawah umur.


Hari menutup koran. Dadanya sesak. Namun kali ini, ia tidak bingung. Ia hanya diam, lalu mengambil buku catatannya. Ia mulai menulis. Bukan tentang Mia, tapi tentang dirinya dan bagaimana sebuah malam bisa mengubah arah hidup seseorang.


Dan di bawah pohon mahoni yang kini tumbuh semakin tinggi, Hari menanam satu hal: pemahaman. Bahwa cinta bukan tentang tubuh, tapi tentang rasa yang bertanggung jawab. ***