***Hari masih duduk di bangku kelas dua SMP ketika pertama kali merasakan detak jantung yang tak biasa tiap kali melihat Herni. Gadis SMA berambut panjang itu bukan hanya tetangganya, tapi juga putri dari kepala desa. Sosoknya begitu menonjol di mata Hari bukan karena statusnya, tapi karena caranya tertawa, cara dia berjalan sambil menjinjing buku, dan cara ia memanggil Hari setiap kali melewati pagar rumah.
Awalnya Hari hanya mengagumi dari jauh. Tapi entah bagaimana, perbincangan ringan di warung depan rumah menjelma jadi obrolan rahasia di balik pagar, lalu menjadi janji-jani kecil yang melibatkan kata-kata manis. Tak ada yang benar-benar serius, tapi untuk dua remaja yang sedang tumbuh dan penasaran, itu sudah cukup untuk disebut “pacaran”.
Hubungan mereka berjalan seperti angin sore di desa: pelan, sembunyi-sembunyi, tapi terasa. Sampai suatu hari, Herni mengutarakan sesuatu dengan lirih.
"Kalau nanti malam lampu kamar lotengku mati, itu tandanya kamu boleh datang. Tapi kalau nyala, jangan ya…," bisiknya sembari menyelipkan senyum yang entah kenapa membuat jantung Hari berdetak lebih cepat.
Hari mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi malam itu, tapi imajinasi bocah SMP-nya berputar liar.
Malam pun tiba. Udara desa dingin seperti biasa, dan suara jangkrik terdengar seperti irama pengantar bagi sebuah keputusan penting. Hari berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah rumah Herni. Loteng rumah itu... menyala.
Ia terdiam. Menurut kode Herni, artinya ia tak boleh datang. Tapi sesuatu dalam dirinya memberontak. Ia mencoba mengingat lagi mati itu boleh, nyala itu jangan. Atau sebaliknya?
"Aduh, kenapa aku malah lupa sekarang," gumamnya sambil menatap lampu yang menyala terang di kejauhan. Tapi sudah terlanjur. Rasa penasaran mengalahkan keraguan.
Dengan langkah pelan namun yakin, Hari keluar rumah, melangkah menyeberangi pekarangan yang memisahkan rumah mereka. Tak ada suara, hanya angin dan degup jantung yang mulai menggila. Pintu rumah Herni tidak dikunci. Hari masuk, menutup pintu pelan, dan menahan napas saat menaiki anak tangga satu demi satu.
Di depan kamar Herni, ia berhenti sejenak, mengetuk pelan lalu membuka pintu. Dan di sanalah, Herni berdiri dengan wajah terkejut dan mata yang melebar.
"Hei! Kenapa kamu kesini?!" serunya, setengah berbisik, setengah panik.
Hari menunduk, nyaris seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri mangga tetangga.
"Aku... aku lupa kode lampunya," ucap Hari, nyaris seperti bisikan. "Tapi... aku udah keburu jalan ke sini. Tanggung."
Sesaat hening. Mata Herni menatap Hari dengan campuran bingung dan geli. Lalu dia menarik napas panjang dan menutup pintu kamar perlahan.
"Kamu nekat juga ya... dasar anak SMP," gumamnya, kali ini dengan senyum yang tak bisa ia tahan.
Dan malam itu, di bawah cahaya lampu yang semestinya menjadi tanda larangan, dua hati muda belajar bahwa cinta kadang datang dengan kode-kode rumit dan kadang, lupa pun bisa membawa cerita yang tak terlupakan.
***"Kode Lampu Loteng (Bagian 2)"
“Dasar anak SMP,” ucap Herni setengah jengkel, setengah geli. Tapi di balik nada suaranya, ada kegugupan yang nyata. Malam itu seharusnya jadi malam yang tenang, rumah seharusnya kosong, tapi rencana berubah cepat. Kedua orang tuanya batal ke luar kota karena urusan mendadak.
Hari, yang sudah terlanjur masuk kamar, hanya bisa berdiri canggung di dekat pintu. Lampu kamar menyala, suasana kamar perempuan SMA itu terasa asing dan harum. Ia tidak berani duduk. Bahkan napasnya pun ditahan, seolah takut terdengar sampai ke ruang tamu.
“Kamu harus pulang. Sekarang,” bisik Herni tegas.
“Tapi... aku udah di sini. Masa nggak ngobrol sebentar?” jawab Hari, mencoba tenang, meski suaranya terdengar kering dan panik.
Belum sempat Herni menjawab, terdengar suara langkah kaki berat menaiki tangga. Suara khas sandal ayah Herni yang menyeret lantai kayu. Seketika darah Hari serasa berhenti mengalir.
Herni menoleh cepat, mendorong Hari ke belakang lemari tinggi yang tak terlalu rapi. “Cepat! Jangan bergerak!” bisiknya tajam, dan Hari pun menyelinap, nyaris jatuh karena lututnya gemetar.
Pintu kamar diketuk keras. “Herni, kamu belum tidur?” suara ayahnya terdengar berat dan penuh curiga.
“Sudah, Pak. Ini lampunya aja belum aku matikan,” jawab Herni dengan suara setenang mungkin.
Pintu terbuka. Dari celah kecil antara pintu lemari dan tembok, Hari bisa melihat siluet tubuh besar ayah Herni berdiri memeriksa ruangan.
“Cepat tidur. Jangan main HP terus. Besok bantu ibumu di dapur,” ucap ayahnya sambil menepuk pintu.
“Iya, Pak,” jawab Herni sambil menahan napas.
Pintu pun tertutup. Tapi belum genap satu menit, langkah kaki itu kembali. Hari nyaris menjerit dalam hati.
Pintu terbuka lagi.
“Ada suara apa tadi? Kamu ngomong sama siapa?”
“Enggak, Pak. Tadi aku... ngomong sendiri. Baca status WA teman, lucu,” jawab Herni cepat.
Ayahnya mendengus. “Kalau malam, jangan aneh-aneh.”
Langkah itu akhirnya benar-benar menjauh. Herni menunggu beberapa detik sebelum perlahan membuka pintu lemari. Hari terlihat seperti orang habis melihat hantu keringat dingin di pelipisnya, dan napas tak beraturan.
“Kamu gila ya?” bisik Herni, antara kesal dan lega.
“Aku nggak tahu... bakal segini tegangnya,” jawab Hari lirih, masih gemetar. “Ternyata... pacaran itu butuh nyali.”
Mereka berdua tertawa pelan, nyaris tanpa suara. Tapi setelahnya, tak ada yang berani berkata apa-apa lagi. Herni mematikan lampu kamarnya, dan mereka hanya duduk diam di lantai, menunggu waktu yang tepat bagi Hari untuk pulang diam-diam, tanpa jejak.
Dan malam itu, di balik ketegangan dan kekonyolan, Hari belajar satu hal penting: cinta masa remaja memang manis, tapi juga penuh risiko terutama jika ayah sang pacar punya telinga sepeka mata-mata.
"Kode Lampu Loteng (Bagian 3 - Pulang Lewat Pohon)"
Malam itu seperti tak kunjung habis bagi Hari. Duduk bersandar di dinding kamar Herni, ia mendengar suara pintu terbuka dan tertutup, langkah kaki ayah Herni, bahkan batuk kecil dari ruang tengah. Semua suara jadi ancaman. Napas pun tak berani ia hembuskan keras.
Sementara itu, Herni hanya bisa mondar-mandir kecil di dalam kamar. Tangannya terus memainkan ujung rambut, matanya berkali-kali melirik ke jendela loteng yang tertutup rapat. Ia tak menyangka situasinya akan seburuk ini.
“Nggak mungkin kamu keluar lewat bawah. Bapak pasti denger,” bisiknya pelan.
“Terus aku harus nginep di sini?” tanya Hari, nyaris putus asa.
Mereka saling berpandangan. Lalu perlahan, mata Herni mengarah ke jendela loteng. Di luar sana, hanya beberapa meter dari jendela, berdiri pohon rambutan besar yang dahannya menjulur sampai hampir menyentuh atap rumah.
Hari mengikuti arah pandangan itu. “Serius? Lewat situ?”
“Kamu mau nginep sampai Bapak nyuruh aku masak sarapan?” balas Herni sambil menahan tawa.
Dan akhirnya, saat fajar mulai mengintip dari sela-sela awan, Hari membuka jendela dengan pelan. Angin pagi menyambut wajahnya, segar dan dingin. Herni membantu memegangi bagian bingkai, lalu Hari mulai memanjat pelan-pelan ke dahan pohon rambutan.
Tangannya sedikit gemetar, kaosnya sobek sedikit oleh ranting, tapi rasa takutnya kalah oleh dorongan ingin bebas. Ia menuruni pohon dengan cara paling hati-hati yang pernah ia lakukan seumur hidupnya.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, Hari menatap ke atas dan melihat Herni melambaikan tangan kecilnya dari jendela. Ia tersenyum, lega, lalu berlari kecil menuju rumahnya.
Di dalam kamar, Hari merebahkan diri di kasur, wajahnya masih penuh kotoran pohon, rambut acak-acakan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
“Ini pacaran atau misi mata-mata sih...” gumamnya pelan sambil menutup mata.
Dan pagi itu, setelah malam penuh ketegangan, Hari sadar bahwa cinta pertama memang tak selalu manis seperti di buku. Kadang cinta datang dengan kode lampu, lemari sempit, dan pohon rambutan. Tapi justru karena itulah, cerita ini akan selalu tinggal di hatinya sebagai kenangan konyol yang tak akan pernah bisa ia ulangi dua kali.***
TAMAT