"Jarak yang Tak Pernah Kita Punya"

kos

 



***Namaku Hari. Usia dua puluh belum lewat, dan mungkin karena itulah aku lebih sering dianggap teman oleh keponakan-keponakanku ketimbang sebagai om. Termasuk oleh Rita.


Rita tinggal di Jakarta, sedangkan aku di Bandung. Kami jarang bertemu. Tapi saat liburan sekolah kemarin, dia dan keluarganya menetap hampir sebulan di rumah orangtuaku. Rumah yang juga kutinggali sejak memutuskan bekerja di Bandung.


Awalnya semua terasa biasa. Kami nonton bareng, pergi ke Lembang, foto-foto di Tebing Keraton, makan mi kocok di Dago, bahkan sempat belanja ke FO dan makan malam di Braga. Aku pikir, ya, itulah bentuk keakraban sepupu-sepupu dan keponakan. Tak ada yang aneh, hingga hari-hari itu habis.


Saat mereka kembali ke Jakarta, aku hanya merasa sedikit sepi. Tapi tak lebih dari itu. Sampai suatu sore, sepupu Rita yang juga keponakanku Fani mengirim pesan, lalu menelponku.


"Jangan marah dulu ya, Hari," katanya, pelan.

"Kenapa emangnya?"

"Si Rita… dia, eh, dia minta aku sampaikan sesuatu ke kamu."

Aku diam. Menunggu.


"Dia bilang, sejak pulang ke Jakarta, pikirannya nggak bisa lepas dari kamu. Dia mikirin kamu terus, Hari."


Aku tertawa kecil, berpikir itu lelucon remaja belaka. "Yah, kan wajar. Kita banyak main bareng, jadi mungkin dia cuma kangen aja. Biasa ponakan."


"Bukan begitu, Har. Dia… dia bilang rasanya beda. Dia bilang, dia jatuh cinta."


Aku tak langsung menjawab. Kepalaku penuh suara. Rita? Jatuh cinta? Kepadaku? Paman yang bahkan belum tentu tahu mau menikah kapan?


Aku mengenal cinta yang rumit. Tapi tak pernah kubayangkan sekompleks ini. Aku hanya terpaku, mencoba mengingat semua tawa dan percakapan kami. Dan entah kenapa, semuanya kini terasa seperti teka-teki yang baru kupahami setelah tahu jawabannya.


Beberapa hari kemudian, Rita sendiri mengirim pesan. Panjang. Penuh keraguan. Tapi jujur.


"Om, maaf kalau aku salah. Tapi selama liburan kemarin, aku ngerasa nyaman banget sama kamu. Kamu dengerin aku, kamu ngerti aku, dan itu buat aku ngerasa... deket banget. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku sadar aku kangen. Bukan cuma karena om. Tapi karena kamu. Hari."


Aku membaca pesannya berulang kali. Dunia seperti berhenti sebentar.


Aku tahu dia remaja akhir, usia yang membuat perasaan bisa begitu tulus sekaligus menggebu. Aku pun tahu, meski kami tak dibatasi darah langsung aku adik dari ibunya hubungan ini tetap akan terdengar ganjil di telinga siapa pun.


Tapi aku juga tahu, cinta, kadang datang tak kenal pintu.


Aku membalasnya malam itu. Butuh waktu lama menulisnya.


"Rita, kamu itu gadis baik. Dan aku senang bisa punya tempat di hatimu. Tapi kadang perasaan itu datang di waktu yang belum tepat. Bukan karena kamu salah merasa, tapi karena aku belum bisa membalasnya dengan cara yang adil buat kamu. Kita sama-sama butuh waktu. Kamu akan tumbuh, dan aku akan tetap jadi seseorang yang selalu ingin kamu bahagia dalam bentuk apa pun nanti. Percayalah, perasaan itu nggak salah. Tapi mungkin cukup kita jaga, diam-diam, sampai semesta bilang waktunya sudah pas."


Tak ada yang tahu kisah ini selain aku, Fani, dan Rita. Tapi aku tahu, sejak itu, ada jarak di hati kami yang tak pernah ada sebelumnya. Bukan untuk menjauh, tapi untuk menjaga.


Karena cinta, kadang bukan tentang memiliki.


Tapi tentang memahami kapan harus tinggal, dan kapan harus melepaskan. *** bersambung....


Hari mencoba menjalani hubungan karena rasa kasihan, lalu akhirnya dipaksa mengakhiri hubungan itu setelah ketahuan oleh kakaknya ibu Rita. Rita merasa dikhianati oleh cinta yang ia kira tulus.


Lanjutan "Jarak yang Tak Pernah Kita Punya"


***Aku tak tahu kapan tepatnya rasa kasihan itu berubah menjadi keputusan. Mungkin saat Rita mengirimi voice note, suaranya bergetar, mengatakan betapa ia merasa berarti saat bersamaku. Atau mungkin saat aku duduk sendirian di kamar, membaca ulang pesan-pesannya yang selalu diakhiri dengan kalimat, "Terima kasih udah bikin aku merasa hidup."


Aku mulai membalasnya lebih sering. Menjawab dengan sapaan yang lebih hangat. Mengajaknya video call meski hanya lima menit. Aku tahu ini bukan karena aku membalas cintanya tapi karena aku tak tega menghancurkannya.


Dan begitulah, hubungan itu berjalan. Diam-diam. Tertutup. Nyaris seperti rahasia kecil yang tumbuh di sudut hati kami. Aku tahu aku salah. Tapi aku juga tahu, aku tak bisa jadi pahlawan yang menyelamatkannya dengan menjauh. Karena nyatanya, kehadiranku adalah satu-satunya yang membuatnya tersenyum.


Namun rahasia tak pernah bisa tinggal terlalu lama dalam kegelapan.


Suatu sore, setelah hampir dua tahun kami menjalin kedekatan itu, kakakku ibu Rita menelpon. Suaranya dingin. Tegas. Tak seperti biasanya.


"Hari, kamu ada waktu? Kita perlu bicara."

Dan seperti yang bisa kau tebak, sore itu berubah menjadi malam yang sunyi.

"Apa benar kamu dekat sama Rita? Bukan cuma sebagai om?"

Aku tak bisa bohong. Tak ada gunanya.

"Aku nggak maksud,"

"Kamu pikir itu cukup alasan? Kamu tahu dia anakku, Har. Anak kecil yang kebetulan tumbuh cepat. Dan kamu om-nya."

"Aku tahu... Tapi aku nggak mau dia merasa ditolak, aku cuma,"

"Kamu kasihan?"

Kata itu memotong seperti pisau.


"Kalau kamu kasihan, jangan lanjutkan. Karena cinta yang lahir dari kasihan itu bukan cinta, tapi hutang. Dan hutang seperti itu akan terus menyesakkan. Hentikan, sebelum kamu membunuh hatinya pelan-pelan."


Aku tak tidur malam itu. Pesan-pesan Rita masih ada di layar ponselku, belum sempat kubalas.


Dan saat akhirnya aku menulis, hanya satu kalimat yang keluar.

"Kita cukup sampai di sini, Rita. Maafkan om."


Hari-hari berikutnya seperti neraka kecil bagi Rita. Ia menangis, mengurung diri, menolak makan. Fani yang mengabarkan semuanya padaku.


"Dia bilang kamu satu-satunya yang bikin dia merasa nggak sendiri. Dan sekarang kamu tinggalin dia... kayak dia nggak pernah berarti apa-apa."


Aku tahu aku pengecut. Tapi mungkin inilah satu-satunya cara melindunginya meski dengan cara paling menyakitkan.


Rita tak pernah membalas pesanku. Hanya sekali, setelah seminggu.


"Ternyata kamu nggak pernah cinta ya, Hari. Kamu cuma kasihan. Tapi sayangnya aku beneran jatuh hati."


Dan sejak itu, kami tak pernah bicara lagi.


Kadang aku berpikir, mungkin cinta paling tulus adalah yang tak bisa diperjuangkan. Yang akhirnya harus dibakar, agar tak melukai lebih dalam.


Tapi luka itu sudah terlanjur ada. Di mataku. Di hatinya. Dan mungkin akan tetap tinggal... seumur hidup kami. ***


TAMAT