Cimanggung: Tempat Aku Belajar Bertahan, Tempat Aku Belajar Pulang

kos

 



***Tidak ada yang benar-benar mengenang Cimanggung dari baliho wisata atau halaman depan majalah gaya hidup. Cimanggung bukan tempat orang-orang memamerkan foto di media sosial, bukan juga tempat yang dibicarakan para influencer dengan kata-kata puitis. Tapi Cimanggung punya cara sendiri membuatmu menangis saat mengenangnya. Pelan. Sunyi. Tanpa peringatan.


Aku tumbuh di sana. Di tengah deru mesin pabrik yang kadang terdengar sampai malam. Di lorong-lorong gang sempit yang kalau hujan turun, berubah jadi sungai kecil bercampur lumpur dan sabun cucian. Setiap pagi ibu akan membangunkanku lebih awal, bukan untuk sekolah yang nyaman, tapi untuk membantu menyiapkan dagangan: gorengan, kopi hitam, dan beberapa bungkus rokok yang nanti dijual ke buruh-buruh pabrik.


Ayah kadang pulang dengan pakaian basah kuyup oleh peluh, sepatu belepotan tanah dari proyek yang tak selesai-selesai. Tapi ia selalu tersenyum saat mengetuk pintu. “Kita belum kaya, tapi kita cukup,” katanya. Aku tak pernah mengerti artinya saat itu, tapi kalimat itu tinggal di dadaku sampai sekarang.


Cimanggung bukan tempat yang indah dalam definisi umum. Tapi ia punya bukit-bukit hijau yang mengintip malu-malu dari kejauhan. Saat pagi, kabut tipis menyelimuti pepohonan, seolah menyembunyikan semua kesedihan semalam. Di sela-sela suara mesin dan truk yang melaju, ada suara alam yang lembut, hampir tak terdengar, tapi setia menenangkan jiwa.


Di pasar yang kumuh dan selalu becek, aku bertemu pertama kali dengan cinta. Gadis penjual bawang yang selalu menyisihkan cabe rawit merah untuk ibu. Kami tak pernah pacaran. Hanya saling pandang, dan kadang duduk diam di dekat warung lontong sayur sambil menertawakan hal-hal kecil. Tapi aku masih ingat senyumnya. Dan aku masih ingat hari saat ia berpamitan karena keluarganya pindah ke kota.


“Kalau suatu hari kamu berhasil, jangan lupakan Cimanggung,” katanya pelan. Aku hanya diam. Aku terlalu muda untuk tahu bahwa beberapa perpisahan tidak butuh alasan hanya waktu yang terus berjalan.


Lalu datanglah banjir. Beberapa kali. Mengangkat semua kenangan jadi basah dan tak utuh lagi. Kasur kami pernah hanyut setengah. Buku-buku sekolahku jadi keriput. Tapi kami tetap tinggal. Karena tidak semua orang punya pilihan untuk pergi. Karena di Cimanggung, kami tidak diajarkan untuk mengeluh kami hanya belajar bertahan.


Kini, aku tinggal jauh. Di kota yang lampunya terang dan jalannya lebar. Tapi malam-malam tertentu, aku masih terbangun oleh mimpi tentang gang sempit itu. Tentang bau gorengan ibu, suara langkah ayah di genangan, tawa kecil di pasar, dan kabut yang turun perlahan dari bukit sebelah.


Dan setiap kali aku pulang meski hanya sebentar Cimanggung menyambutku seperti pelukan diam dari seseorang yang tak pernah benar-benar melupakanmu. Ia tidak berubah. Masih riuh. Masih sesekali banjir. Tapi ia tetap jujur.


Cimanggung bukan tempat lahirku. Ia adalah luka yang kering perlahan, kenangan yang selalu tinggal, dan cinta pertama yang tidak pernah selesai.***