Membangun Kesadaran Lingkungan Lewat Buku 'Petaka Gunung Tampomas'

kos

Caption. Rektor IKOPIN University, Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan saat menerima cenderamata dari Keraton Sumedang Larang Sri Radya Rd H. I Lukman Soemaadisoeria. 

KBT NEWS ID JATINANGOR - Universitas Koperasi Indonesia (IKOPIN) bersama Keraton Sumedang Larang menyelenggarakan acara bedah buku berjudul 'Petaka Gunung Tampomas'. Buku ini menarik perhatian masyarakat lokal dan akademisi karena mengangkat isu kerusakan lingkungan di Gunung Tampomas yang dikaitkan dengan fenomena global. Melalui acara tersebut, peserta diajak berdiskusi mengenai bagaimana dampak global bisa terasa hingga level lokal, terutama terkait kerusakan alam dan lingkungan. Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Rektor IKOPIN sekaligus penulis buku 'Petaka Gunung Tampomas', menuturkan bahwa ia terdorong menulis buku ini karena rasa prihatin terhadap kondisi Gunung Tampomas yang terus mengalami kerusakan. “Saya lahir dan besar di kaki Gunung Tampomas. Gunung ini adalah bagian dari warisan leluhur yang harus kita jaga. Matipun, insya Allah, saya ingin di sini,” ungkap Agus.


Dalam bukunya, Agus mengungkapkan bahwa Gunung Tampomas merupakan gambaran dari krisis lingkungan yang lebih luas. Ia menjelaskan bahwa buku ini tidak hanya berfokus pada masalah lokal, tetapi juga mencoba menggambarkan bagaimana dampak kolonialisme dan perkembangan budaya global telah mempercepat kerusakan alam di berbagai tempat. “Apa yang terjadi di Gunung Tampomas hanyalah satu contoh dari fenomena kerusakan alam yang sudah lama terjadi di seluruh dunia,” tambahnya.

Agus menulis buku ini dalam format nonfiksi ilmiah, tetapi dengan pendekatan cerita yang lebih mudah dipahami masyarakat. Sebagai seorang akademisi, ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan pentingnya kesadaran lingkungan. “Saya paham tidak semua orang bisa memahami bahasa ilmiah yang kaku. Oleh karena itu, saya mencoba menyampaikan isu penting ini melalui narasi yang lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan,” jelasnya. 


Pesan utama dari buku ini adalah pentingnya kesadaran sosial dan tanggung jawab moral masyarakat terhadap kelestarian lingkungan. Agus berharap karyanya dapat menjadi pengingat bagi masyarakat Sumedang bahwa merawat alam bukan hanya tugas satu generasi, tetapi merupakan amanat bagi masa depan. “Ini adalah bentuk kontribusi saya sebagai ilmuwan dan bagian dari masyarakat yang peduli pada lingkungan,” ujar Agus. 


Selain mengkritik, Agus juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk segera bertindak. Ia menekankan pentingnya langkah rehabilitasi lingkungan Gunung Tampomas. “Saya berharap bupati yang baru bisa lebih serius menangani kerusakan lingkungan di gunung ini. Langkah-langkah konkret perlu segera diambil demi masa depan Sumedang yang lebih baik,” tegasnya. 


Acara bedah buku ini juga dihadiri oleh Nandang Suparman, Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disparbudpora) Sumedang. Ia mengapresiasi gagasan yang disampaikan dalam buku tersebut, dan menyebutnya sebagai masukan berharga bagi pemerintah Kabupaten Sumedang. “Ini adalah rekomendasi penting untuk membantu pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Gunung Tampomas,” kata Nandang. Diskusi ini bukan hanya forum ilmiah, tetapi juga menjadi ajakan bagi masyarakat Sumedang untuk lebih peduli terhadap kelestarian alam. Diharapkan dengan adanya buku ini, masyarakat Sumedang bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, terutama Gunung Tampomas yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi. 


Radya Anom Keraton Sumedang Larang, R. Lucky Djauhari Soemawilaga, juga memberikan apresiasi terhadap buku karya Agus. Ia menyebut buku ini sebagai gambaran nyata dari kondisi yang terjadi saat ini, yang sekaligus menjadi tamparan bagi masyarakat Sumedang. “Gunung Tampomas adalah cerminan wajah Sumedang. Di dalamnya, tersimpan nilai sejarah, budaya, dan lingkungan hidup yang kini mengalami kerusakan sangat parah,” kata Lucky. 


Lucky menegaskan pentingnya langkah konkret untuk merekonstruksi Gunung Tampomas agar lebih sehat dan terjaga kelestariannya. Apalagi, Sumedang kini telah ditetapkan sebagai pusat budaya Sunda, dan Gunung Tampomas yang memiliki nilai simbolis besar harus dijaga keberadaannya. “Sumedang sebagai Puser Budaya Sunda harus diwujudkan dengan nyata, bukan sekadar slogan. Terima kasih kepada Prof. Agus yang telah menggugah kami untuk lebih peduli,” tandasnya. 


Dengan kehadiran buku ini, diharapkan bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh elemen masyarakat bisa tergerak untuk merawat Gunung Tampomas sebagai bagian penting dari warisan budaya dan alam Sumedang. (red*)